Laman

Monday, January 14, 2013

Masalah Defisiensi Seng (Zn) pada Manusia



Oleh : Hadi Riyadi
Raulin pada tahun 1869 merupakan orang yang pertama kali menunjukkan bahwa zinc (Zn) merupakan unsur yang esensial dalam sistem biologi, melalui penelitian tentang pertumbuhan Aspergillus niger.  Zinc juga ditunjukkan essensial pada tanaman tingkat tinggi pada tahun 1926.  Pada tahun 1934 Todd, et al., melaporkan bahwa zinc essensial bagi tikus.  Kemudian pada tahun 1955 suatu penyakit yang disebut parakeratosis pada babi akibat defisiensi zinc dilaporkan oleh Tucker dan Salmon.  Selanjutnya keessensialan zinc bagi pertumbuhan ayam ditunjukkan oleh O’Dell, et al., sedangkan keessensialannya pada manusia ditunjukkan oleh Prasad pada tahun 1961 (Prasad, 1991).
Kemajuan peranan zinc (Zn) dalam bidang biokimia dan biologi molekuler sangat femomena.  Enzim yang pertama kali dikenali sebagai metalloenzim Zn adalah carbonic anhydrase seperti yang dilaporkan oleh Keilin dan Mann pada tahun 1940, dan pada tahun 1960 ada tiga enzim lain dikenal sebagai metalloenzim Zn, yaitu alcohol dehydrogenase, carboxypeptidase dan alkaline phosphatase.  Kini metalloenzim Zn sudah diketahui pada semua kelas enzim, dan lebih dari 300 enzim yang berperan dalam strukturnya dan aksi katalitik dan regulatory (Prasad, 2003).  Semenjak 1985 lebih dari 2000 faktor-faktor transkripsi yang tergantung Zn yang terlibat dalam ekspressi gen dari berbagai protein telah dikenali (Prasad, 2003). Pada sel-sel yang mengalami defisiensi Zn, pengikatan factor-faktor transkripsi yang tergantung pada DNA akan menurun.  Hal ini kemungkinan menyebabkan penurunan ekspressi gen beberapa protein.
            Semenjak hampir setengah abad yang lampau, tampak bahwa defisiensi Zn pada manusia semakin prevalent (Prasad, 2003). Defisiensi Zn tersebut menyebar secara luas di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.  Di samping di Iran dan Mesir, defisiensi Zn sekarang juga dilaporkan terjadi di Turki, Portugal, Maroko, Yugoslavia, Jamaika, Kanada (Prasad, 1991), Zaire, Malawi, Nigeria, dan lain-lain (ACC/SCN, 1997).  Laporan-laporan tersebut umumnya menggambarkan tentang kasus-kasus yang sudah jelas terlihat daripada insiden defisiensi Zn aktual di seluruh dunia yang jumlahnya mungkin lebih banyak.
            Defisiensi Zn akan menjadi prevalent di negara-negara lain dimana penduduknya mengkonsumsi protein nabati dan pangan yang tinggi kandungan serat dan fitatnya, seperti serealia, kacang-kacangan (Prasad, 1985a; Prasad, 1991).  Defisiensi Zn suboptimal juga sudah diakui terjadi di Amerika Serikat, baik pada bayi (Walravens dan Hambidge, 1976) maupun anak-anak (Hambidge, et al, 1976).  Sebuah studi di Denver pada tahun 1972 mengidentifikasi sejumlah anak dari keluarga berpendapatan menengah dan tinggi yang kandungan Zn pada rambutnya menurun, dan mengalami hambatan pertumbuhan (Prasad, 1985a).
            Defisiensi Zn menyebar luas pada wanita di Afrika.  Studi di Mesir, Nigeria, dan Zaire semuanya melaporkan status Zn yang rendah pada wanita hamil.  Di Malawi, defisiensi Zn pada wanita hamil, yang dikonfirmasikan dengan indikator biokimia, dihubungkan dengan intik Zn yang bioavailabilitasnya rendah, siklus reproduksi yang cepat, dan infeksi malaria.  Suplementasi Zn telah mengkonfirmasikan bahwa defisiensi Zn selama hamil menyebabkan pertumbuhan janin yang buruk, komplikasi kelahiran, dan meningkatnya mortalitas pada ibu dan bayinya (ACC/SCN, 1997).
            Berdasarkan hasil analisis kadar Zn serum/plasma menunjukkan bahwa di Amerika Serikat prevalensi defisiensi Zn pada anak sekolah adalah 1,3 persen pada anak laki-laki dan 1,0 persen pada anak perempuan (Pilch dan Senti, 1986).  Di Yugoslavia prevalensi defisiensi Zn adalah 25,8 persen (Buzina, et al, 1980).  Prevalensi yang jauh lebih tinggi diungkapkan di Iran bagian Selatan oleh Ronaghy, et al, (1974), yaitu 71,4 persen.  Mengingat sulitnya menetapkan defisiensi Zn berdasarkan kadar Zn serum/plasma, maka sulit didapatkan data prevalensi defisiensi Zn.  Salah satu cara mengetahui defisiensi Zn di suatu daerah yang sekarang sering digunakan adalah dengan melihat respon terhadap pemberian Zn.  Hampir semua penelitian yang dilakukan diberbagai belahan dunia menunjukkan bahwa kelompok rawan gizi pada umumnya berespon terhadap suplementasi Zn.  Hal ini menunjukkan bahwa kelompok penduduk tersebut menderita defisiensi gizi.  Ini berarti bahwa defisiensi Zn hampir dipastikan terjadi di daerah-daerah tersebut, terutama di negara-negara berkembang. Saat ini diduga sekitar 2 juta penduduk di Negara berkembang mengalami defisiensi Zn dengan berbagai tingkat keparahannya (Prasad, 2003).  Berdasarkan data intik ketidakcukupan Zn makanan, diduga sepertima penduduk dunia mengalami kekurangan Zn makanan (Brown, 2004).

Masalah Defisiensi Zn di Indonesia
            Di Indonesia ada indikasi bahwa defisiensi Zn menyebar secara luas di masyarakat.  Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Hadi Riyadi di Pedesaan Bogor menunjukkan bahwa prevalensi defisiensi Zn pada anak baduta sebesar 20,1 persen (Riyadi, 2002) pada anak sekolah dasar sebesar 27,5 persen Riyadi, 1992), prevalensi pada remaja sebesar 44,3 persen (Riyadi, 1995).  Berdasarkan indikator kadar zinc serum, prevalensi defisiensi zinc pada bayi di Bogor sebesar 17 persen (Dikhuizen, et. al., 2001). Hasil penelitian Puslitbang Gizi dan Direktorat Gizi (2006) di 7 provinsi menunjukkan prevalensi defisiensi Zn ( kadar Zn serum < 70 µg/dl) berkisar 7,96 sampai 44,74 persen.  Beberapa pustaka menunjukkan bahwa apabila di suatu masyarakat prevalensi defisiensi Fe tinggi, maka biasanya masyarakatnya juga banyak yang mengalami defisiensi Zn.  Dengan demikian, maka diduga masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia banyak yang mengalami defisiensi Zn.

No comments: