Oleh : Hadi Riyadi
Raulin pada tahun 1869
merupakan orang yang pertama kali menunjukkan bahwa zinc (Zn) merupakan unsur
yang esensial dalam sistem biologi, melalui penelitian tentang pertumbuhan Aspergillus niger. Zinc juga ditunjukkan essensial pada tanaman
tingkat tinggi pada tahun 1926. Pada
tahun 1934 Todd, et al., melaporkan bahwa zinc essensial bagi tikus. Kemudian pada tahun 1955 suatu penyakit yang
disebut parakeratosis pada babi akibat defisiensi zinc dilaporkan oleh Tucker
dan Salmon. Selanjutnya keessensialan
zinc bagi pertumbuhan ayam ditunjukkan oleh O’Dell, et al., sedangkan
keessensialannya pada manusia ditunjukkan oleh Prasad pada tahun 1961 (Prasad,
1991).
Kemajuan peranan zinc (Zn)
dalam bidang biokimia dan biologi molekuler sangat femomena. Enzim yang pertama kali dikenali sebagai
metalloenzim Zn adalah carbonic anhydrase seperti yang dilaporkan oleh Keilin
dan Mann pada tahun 1940, dan pada tahun 1960 ada tiga enzim lain dikenal
sebagai metalloenzim Zn, yaitu alcohol dehydrogenase, carboxypeptidase dan
alkaline phosphatase. Kini metalloenzim
Zn sudah diketahui pada semua kelas enzim, dan lebih dari 300 enzim yang
berperan dalam strukturnya dan aksi katalitik dan regulatory (Prasad,
2003). Semenjak 1985 lebih dari 2000
faktor-faktor transkripsi yang tergantung Zn yang terlibat dalam ekspressi gen
dari berbagai protein telah dikenali (Prasad, 2003). Pada sel-sel yang
mengalami defisiensi Zn, pengikatan factor-faktor transkripsi yang tergantung
pada DNA akan menurun. Hal ini
kemungkinan menyebabkan penurunan ekspressi gen beberapa protein.
Semenjak hampir setengah abad yang lampau, tampak bahwa
defisiensi Zn pada manusia semakin prevalent (Prasad, 2003). Defisiensi
Zn tersebut menyebar secara luas di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Di samping di Iran dan Mesir, defisiensi Zn
sekarang juga dilaporkan terjadi di Turki, Portugal, Maroko, Yugoslavia,
Jamaika, Kanada (Prasad, 1991), Zaire, Malawi, Nigeria, dan lain-lain (ACC/SCN,
1997). Laporan-laporan tersebut umumnya
menggambarkan tentang kasus-kasus yang sudah jelas terlihat daripada insiden
defisiensi Zn aktual di seluruh dunia yang jumlahnya mungkin lebih banyak.
Defisiensi Zn akan menjadi prevalent
di negara-negara lain dimana penduduknya mengkonsumsi protein nabati dan pangan
yang tinggi kandungan serat dan fitatnya, seperti serealia, kacang-kacangan
(Prasad, 1985a; Prasad, 1991).
Defisiensi Zn suboptimal juga sudah diakui terjadi di Amerika Serikat,
baik pada bayi (Walravens dan Hambidge, 1976) maupun anak-anak (Hambidge, et
al, 1976). Sebuah studi di Denver pada
tahun 1972 mengidentifikasi sejumlah anak dari keluarga berpendapatan menengah
dan tinggi yang kandungan Zn pada rambutnya menurun, dan mengalami hambatan
pertumbuhan (Prasad, 1985a).
Defisiensi Zn menyebar luas pada
wanita di Afrika. Studi
di Mesir, Nigeria,
dan Zaire
semuanya melaporkan status Zn yang rendah pada wanita hamil. Di Malawi, defisiensi Zn pada wanita hamil,
yang dikonfirmasikan dengan indikator biokimia, dihubungkan dengan intik Zn
yang bioavailabilitasnya rendah, siklus reproduksi yang cepat, dan infeksi
malaria. Suplementasi Zn telah
mengkonfirmasikan bahwa defisiensi Zn selama hamil menyebabkan pertumbuhan
janin yang buruk, komplikasi kelahiran, dan meningkatnya mortalitas pada ibu
dan bayinya (ACC/SCN, 1997).
Berdasarkan hasil analisis kadar Zn
serum/plasma menunjukkan bahwa di Amerika Serikat prevalensi defisiensi Zn pada
anak sekolah adalah 1,3 persen pada anak laki-laki dan 1,0 persen pada anak
perempuan (Pilch dan Senti, 1986). Di
Yugoslavia prevalensi defisiensi Zn adalah 25,8 persen (Buzina, et al,
1980). Prevalensi yang jauh lebih tinggi
diungkapkan di Iran
bagian Selatan oleh Ronaghy, et al, (1974), yaitu 71,4 persen. Mengingat sulitnya menetapkan defisiensi Zn
berdasarkan kadar Zn serum/plasma, maka sulit didapatkan data prevalensi
defisiensi Zn. Salah satu cara
mengetahui defisiensi Zn di suatu daerah yang sekarang sering digunakan adalah
dengan melihat respon terhadap pemberian Zn.
Hampir semua penelitian yang dilakukan diberbagai belahan dunia
menunjukkan bahwa kelompok rawan gizi pada umumnya berespon terhadap
suplementasi Zn. Hal ini menunjukkan
bahwa kelompok penduduk tersebut menderita defisiensi gizi. Ini berarti bahwa defisiensi Zn hampir
dipastikan terjadi di daerah-daerah tersebut, terutama di negara-negara
berkembang. Saat ini
diduga sekitar 2 juta penduduk di Negara berkembang mengalami defisiensi Zn
dengan berbagai tingkat keparahannya (Prasad, 2003). Berdasarkan data intik ketidakcukupan Zn
makanan, diduga sepertima penduduk dunia mengalami kekurangan Zn makanan
(Brown, 2004).
Masalah Defisiensi Zn di Indonesia
Di Indonesia ada indikasi bahwa
defisiensi Zn menyebar secara luas di masyarakat. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Hadi
Riyadi di Pedesaan Bogor
menunjukkan bahwa prevalensi defisiensi Zn pada anak baduta sebesar 20,1 persen
(Riyadi, 2002) pada anak sekolah dasar sebesar 27,5 persen Riyadi, 1992),
prevalensi pada remaja sebesar 44,3 persen (Riyadi, 1995). Berdasarkan indikator kadar zinc serum,
prevalensi defisiensi zinc pada bayi di Bogor
sebesar 17 persen (Dikhuizen, et. al., 2001). Hasil penelitian Puslitbang Gizi
dan Direktorat Gizi (2006) di 7 provinsi menunjukkan prevalensi defisiensi Zn (
kadar Zn serum < 70 µg/dl) berkisar 7,96 sampai 44,74 persen. Beberapa pustaka menunjukkan bahwa apabila di
suatu masyarakat prevalensi defisiensi Fe tinggi, maka biasanya masyarakatnya
juga banyak yang mengalami defisiensi Zn.
Dengan demikian, maka diduga masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia
banyak yang mengalami defisiensi Zn.
No comments:
Post a Comment