Tidak semua orang mengenal istilah antropologi gizi. Kalau antropologi budaya atau antropologi
biologi sudah banyak diketahui oleh masyarakat.
Tapi antropologi gizi, belum mendapat banyak perhatian. Padahal ilmu
antropologi gizi sangat menarik. Antropologi gizi pada dasarnya menggunakan
paradigma biokultural untuk menguji bagaimana aksi dan struktur sosial
berinteraksi dengan sistem biologi dan ekologi untuk menentukan ketersediaan
pangan, distribusi, penggunaan pangan, dan keadaan gizi. Pertanyaan penting dalam antropologi gizi
adalah bagaimana diet mempengaruhi evolusi perkembangan Homo sapiens,
penggunaan pangan lintas-budaya, hubungan antara kondisi lingkungan, pengadaan
pangan dan gizi; bagaimana variasi biologi dan budaya manusia mempengaruhi
praktek makan dan kesehatan; dan bagaimana penggunaan pangan dan gizi
berinteraksi dengan parasit, infeksi dan penyakit kronis.
Antropologi gizi secara tradisional didefinisikan sebagai
kombinasi paradigma biologi dan kultural, yang secara bersama-sama menentukan
pilihan pangan, konsumsi pangan, dan keadaan gizi. Antropologi
gizi biologi, yang teorinya berakar pada ilmu gizi, epidemiologi dan
kedokteran, memfokuskan diri pada parameter kesehatan dan konsekuensi perolehan
pangan, pengolahan, dan penyatuan fisik pada level konsep individu, populasi,
dan spesies. Hal yang menjadi perhatian
adalah outcome biologi dari kesehatan fisiologi dasar dan gizi keseluruhan
sebagai hasil dari proses evolusi,
kondisi lingkungan, praktek pertanian, teknik pengolahan pangan, interaksi yang
ditentukan secara budaya dengan pembatas kesehatan dan sumberdaya, dan kapasitas
individu untuk menyerap dan menggunakan zat-zat gizi tertentu. Antropologi gizi
biologi pada umumnya ditopang dan ditenagai oleh kerangka epidemiologi,
kesehatan atau evolusioner.
Antropologi
pangan atau makanan melekat didalam antropologi. Pangan paling sering
diperlakukan sebagai penanda materi untuk proses-proses budaya lain, seperti
gender, hubungan pertukaran, praktek ritual yang berkaitan dengan umur
seseorang, dan parameter klas dan etnis.
Pangan dalam konteks ini menjadi sesuatu yang bermakna dalam sajian
budaya materi untuk melukiskan pola dan kekuatan budaya yang lebih luas. Pangan juga diperlakukan sebagai unsur arti,
dan juga sebagai metafor untuk pola budaya, atau sebagai bagian dari sistem
persepsi yang bersandar pada budaya umum dari sifat-sifat fisik simbol-simbol
internalisasi. Pangan, proses yang
menciptakannya dari bentuk hewan dan tanaman, dan juga kekuatan sosial yang
menentukan penggunaannya, merupakan bidang kajian politik dan sejarah. Pangan juga diuji sebagai sistem holistik
dalam parameter sejarah dan budaya. Pada
pendekatan sosial budaya, pangan dperlakukan sebagai sistem komunikasi dan
praktek yang memberikan ritual tentang makna dan mengungkapkan pola dan
struktur dari aksi sosial. Jadi
sebenarnya bidang sosial budaya gizi atau ekologi pangan dan gizi merupakan
bagian dari antropologi gizi menurut hemat saya.
Pelto,
Goodman, and Dufour meringkas apa yang membuat diet manusia sangat menarik
perhatian dan sangat berbeda dari diet
spesies lain (Pelto, Goodman, and Dufour, 2000):
1.
Sangat omnivora;
2.
Pemasakan (perebusan,
pemanggangan, penggorengan, pengukusan) dengan perisa tertentu (asin, asam,
manis, pahit, dll);
3.
Karena memasak, manusia
menghabiskan lebih banyak waktu untuk menyiapkan dan merubah pangan
dibandingkan dengan hewan lain;
4.
Mengelaborasi sistem
distribusi, pembagian, dan pertukaran;
5.
Sistem larangan dan
kesukaan terhadap pangan yang berkaitan dengan sistem kepercayaan dan regulasi
sosial melalui ideologi dan yang akhirnya mempengaruhi asupan makanan.
Meskipun Pelto et al. mengemukakan
manusia itu sangat omnivora (pemakan segala), tapi kalau diperbandingkan
struktur anatomi tubuh (mulut, gigi, gerakan-gerakan, usus, cara berkeringat,
dan lainnya) antara hewan herbivora dan hewan carnivora maka manusia lebih
mirip dengan anatomi herbivora. Misalkan kalau kita perhatikan mulut manusia sangat
berbeda dengan mulut anjing (carnivora).
Mulut manusia mempunyai pembukaan yang kecil, sehingga makanan yang
masuk mulut haruslah dalam jumlah kecil, dan manusia harus mengunyah makanan
tersebut terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam perut. Begitu pula misalnya
usus kecil dan usus besar herbivora sangat panjang dan licin seperti pada
manusia, sementara usus hewan carnivora pendek, lurus dan licin. Alasan inilah salah satunya argumentasi bagi
para penganut vegetarian.
Pola budaya di suatu masyarakat
membentuk pola pangan dalam arti luas di suatu masyarakat tertentu. Bahkan hal itu sudah menjadi adat istiadat di
wilayah setempat. Hasil penelitian kami
pada masyarakat adat Kampung Ciptagelar, Banten Kidul, Jawa Barat, ada kekhasan
dalam penentuan jenis tanaman yang ditanam, cara penyimpanan, cara pengolahan
pangan, cara memasak sampai jenis-jenis makanan yang harus disajikan pada saat
ritual tertentu. Pada saat ritual atau
acara syukuran tertentu, beberapa makanan dan jajanan khas Sunda selalu
dihidangkan. Hanya saja, menurut Emak Sepuh (sebutan untuk Emak Uyen, ibu
dari Abah Ugi, pemimpin masyarakat adat Ciptagelar) hampir semua makanan
yang disajikan saat ritual-ritual khusus atau untuk hajatan adalah dimasak
sendiri oleh warga, dan hampir tidak ada makanan atau jajanan yang diperoleh
dari membeli. Selain itu, di antara sekian banyak makanan yang akan disajikan,
ada beberapa jenis makanan dan jajanan yang harus ada di setiap acara ritual
atau pada saat acara syukuran apa pun di Kampung Ciptagelar ini.
Makanan yang selalu harus ada di
setiap ritual atau salametan antara lain adalah kue dodol. Kue dodol di Kampung
Ciptagelar ini dianggap sebagai ‘Ratu Kue’ sehingga harus selalu dihadirkan di
setiap acara. Ada pun yang unik dari kue
dodol di kampung ini, yaitu kue dodol yang digunakan untuk sesajen, acara
hajatan, atau pun untuk ritual-ritual tertentu harus dibuat sendiri dan tidak
boleh beli. Selain itu, kue dodol tersebut harus dibuat paling terakhir di
antara masakan-masakan yang lain atau sebagai penutup dari sekian banyak jenis
masakan yang dibuat. Beras ketan yang digunakan sebagai bahan utama dodol juga
diambil dari Leuit yang terpisah dari Leuit padi. Karena terbuat dari
bahan-bahan yang alami seperti beras ketan, gula merah, dan kelapa, serta dibuat
di atas tungku (menggunakan ‘Rajah Bumi’) sehingga menghasilkan cita rasa yang
sangat khas, enak, dan berbeda dengan cita rasa dodol yang dijual luas di
pasaran atau masyarakat luar Ciptagelar.
Selain kue dodol, ‘Congcot’
merupakan makanan yang selalu dihadirkan di setiap ritual atau acara sesajen di
Kampung Ciptagelar. ‘Congcot’ hampir menyerupai nasi tumpeng akan tetapi dengan
ukuran yang lebih kecil. Congcot disajikan lengkap dengan lauk pauk seperti
ayam goreng, sayur urap daun singkong, kering tempe, bali tahu, telur rebus,
dan mentimun. Yang membedakan dengan nasi tumpeng biasa adalah ukurannya yang
lebih kecil dan keharusan menggunakan ayam bekakak. Ayam negeri/ ayam potong
tidak boleh disajikan bersama Congcot, sebab menurut masyarakat Ciptagelar,
daging ayam yang dapat digunakan untuk acara sesajen hanyalah ayam bekakak
saja.
Di samping kue dodol dan
congcot, makanan yang harus ada di setiap acara ritual atau hajatan adalah buah
pisang mas. Tidak ada penjelasan khusus terkait keharusan menyajikan pisang mas
di setiap ritual atau acara-acara tertentu, hanya saja hal ini telah menjadi
budaya masyarakat Ciptagelar sejak zaman leluhur, mengingat buah pisang mas
juga tumbuh baik di kampung tersebut.
Pada masyarakat adat Kampung
Ciptagelar juga terdapat tabu atau larangan.
Bbeberapa makanan yang dianggap tabu berdasarkan adat Kampung
Ciptagelar, khususnya untuk para gadis dan ibu yang hamil. Sementara itu, untuk
masyarakat secara umum tidak ada makanan yang dianggap tabu selain makanan yang
dilarang/diharamkan oleh agama. Sebagai contoh, beberapa jenis makanan yang
dianggap tabu untuk gadis di Kampung Ciptagelar antara lain adalah pisang ambon
dan nanas. Para gadis di kampung ini dilarang memakan pisang ambon dan hanya
wanita yang sudah menikah/memiliki suami saja yang boleh mengonsumsi pisang
ambon. Begitu pula buah nanas, para gadis di kampung ini dilarang memakan nanas
sebelum ia menikah, dan jika dia hamil juga tidak dianjurkan memakan nanas. Ada
pun alasan gadis dilarang memakan buah pisang ambon dan buah nanas di kampung
ini tidak dijelaskan secara jelas, dan menurut penuturan Emak Alit (istri Abah
Ugi) hal tersebut telah diajarkan sejak zaman karuhun/leluhur dan untuk
kebaikan para gadis itu sendiri.
Sebagaimana para gadis, ibu
hamil di Kampung Ciptagelar juga memiliki tabu makanan yang harus dipatuhi agar
bayi yang dilahirkan kelak selamat dan sehat. Beberapa makanan yang dianggap tabu
untuk ibu hamil di Ciptagelar antara lain ikan asin, kerang (tutut), dan nanas.
Ikan asin/ ikan laut dan juga tutut dianggap tabu karena dapat berdampak pada
terjadinya perdarahan dan bau bayi yang anyir (amis). Sementara buah nanas
dianggap dapat menyebabkan keguguran jika dikonsumsi oleh ibu hamil.
Selama makanan yang ditabukan
untuk anak gadis dan ibu hamil tertentu di suatu masyarakat ada penggantinya
dengan makanan lain yang juga memiliki kandungan gizi sejenis, maka tabu atau
larangan terhadap pangan tersebut tidak akan berdampak negatif terhadap status
gizinya. Asalkan anak gadis dan ibu hamil tersebut bisa memilih jenis makanan
penggantinya. Seperti halnya orang islam
yang diharamkan memakan daging babi, maka hal ini tidak akan berdampak buruk
bagi gizi kita, karena kita bisa menggantinya dengan daging sapi, kambing,
rusa, kerbau, dan lain-lain.
Itulah sekilas pengenalan
antropologi gizi, yang dibahas tidak
terlalu mendalam dan lengkap. Hal ini
semata-mata karena masalah teknis dan keterbatasan pengetahuan penulis.
Salam.
No comments:
Post a Comment