Laman

Friday, October 21, 2016

Mengenal Antropologi Gizi

                Tidak semua orang mengenal istilah antropologi gizi.  Kalau antropologi budaya atau antropologi biologi sudah banyak diketahui oleh masyarakat.  Tapi antropologi gizi, belum mendapat banyak perhatian. Padahal ilmu antropologi gizi sangat menarik.   Antropologi gizi pada dasarnya menggunakan paradigma biokultural untuk menguji bagaimana aksi dan struktur sosial berinteraksi dengan sistem biologi dan ekologi untuk menentukan ketersediaan pangan, distribusi, penggunaan pangan, dan keadaan gizi.  Pertanyaan penting dalam antropologi gizi adalah bagaimana diet mempengaruhi evolusi perkembangan Homo sapiens, penggunaan pangan lintas-budaya, hubungan antara kondisi lingkungan, pengadaan pangan dan gizi; bagaimana variasi biologi dan budaya manusia mempengaruhi praktek makan dan kesehatan; dan bagaimana penggunaan pangan dan gizi berinteraksi dengan parasit, infeksi dan penyakit kronis.

                 Antropologi gizi secara tradisional didefinisikan sebagai kombinasi paradigma biologi dan kultural, yang secara bersama-sama menentukan pilihan pangan, konsumsi pangan, dan keadaan gizi.   Antropologi gizi biologi, yang teorinya berakar pada ilmu gizi, epidemiologi dan kedokteran, memfokuskan diri pada parameter kesehatan dan konsekuensi perolehan pangan, pengolahan, dan penyatuan fisik pada level konsep individu, populasi, dan spesies.  Hal yang menjadi perhatian adalah outcome biologi dari kesehatan fisiologi dasar dan gizi keseluruhan sebagai hasil dari  proses evolusi, kondisi lingkungan, praktek pertanian, teknik pengolahan pangan, interaksi yang ditentukan secara budaya dengan pembatas kesehatan dan sumberdaya, dan kapasitas individu untuk menyerap dan menggunakan zat-zat gizi tertentu. Antropologi gizi biologi pada umumnya ditopang dan ditenagai oleh kerangka epidemiologi, kesehatan atau evolusioner.
                Antropologi pangan atau makanan melekat didalam antropologi. Pangan paling sering diperlakukan sebagai penanda materi untuk proses-proses budaya lain, seperti gender, hubungan pertukaran, praktek ritual yang berkaitan dengan umur seseorang, dan parameter klas dan etnis.  Pangan dalam konteks ini menjadi sesuatu yang bermakna dalam sajian budaya materi untuk melukiskan pola dan kekuatan budaya yang lebih luas.  Pangan juga diperlakukan sebagai unsur arti, dan juga sebagai metafor untuk pola budaya, atau sebagai bagian dari sistem persepsi yang bersandar pada budaya umum dari sifat-sifat fisik simbol-simbol internalisasi.  Pangan, proses yang menciptakannya dari bentuk hewan dan tanaman, dan juga kekuatan sosial yang menentukan penggunaannya, merupakan bidang kajian politik dan sejarah.  Pangan juga diuji sebagai sistem holistik dalam parameter sejarah dan budaya.  Pada pendekatan sosial budaya, pangan dperlakukan sebagai sistem komunikasi dan praktek yang memberikan ritual tentang makna dan mengungkapkan pola dan struktur dari aksi sosial.  Jadi sebenarnya bidang sosial budaya gizi atau ekologi pangan dan gizi merupakan bagian dari antropologi gizi menurut hemat saya.
                Pelto, Goodman, and Dufour meringkas apa yang membuat diet manusia sangat menarik perhatian dan sangat  berbeda dari diet spesies lain (Pelto, Goodman, and Dufour, 2000):
1.       Sangat omnivora;
2.       Pemasakan (perebusan, pemanggangan, penggorengan, pengukusan) dengan perisa tertentu (asin, asam, manis, pahit, dll);
3.       Karena memasak, manusia menghabiskan lebih banyak waktu untuk menyiapkan dan merubah pangan dibandingkan dengan hewan lain;
4.       Mengelaborasi sistem distribusi, pembagian, dan pertukaran;
5.       Sistem larangan dan kesukaan terhadap pangan yang berkaitan dengan sistem kepercayaan dan regulasi sosial melalui ideologi dan yang akhirnya mempengaruhi asupan makanan.

                Meskipun Pelto et al. mengemukakan manusia itu sangat omnivora (pemakan segala), tapi kalau diperbandingkan struktur anatomi tubuh (mulut, gigi, gerakan-gerakan, usus, cara berkeringat, dan lainnya) antara hewan herbivora dan hewan carnivora maka manusia lebih mirip dengan anatomi herbivora.  Misalkan  kalau kita perhatikan mulut manusia sangat berbeda dengan mulut anjing (carnivora).  Mulut manusia mempunyai pembukaan yang kecil, sehingga makanan yang masuk mulut haruslah dalam jumlah kecil, dan manusia harus mengunyah makanan tersebut terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam perut. Begitu pula misalnya usus kecil dan usus besar herbivora sangat panjang dan licin seperti pada manusia, sementara usus hewan carnivora pendek, lurus dan licin.  Alasan inilah salah satunya argumentasi bagi para penganut vegetarian.
                Pola budaya di suatu masyarakat membentuk pola pangan dalam arti luas di suatu masyarakat tertentu.  Bahkan hal itu sudah menjadi adat istiadat di wilayah setempat.  Hasil penelitian kami pada masyarakat adat Kampung Ciptagelar, Banten Kidul, Jawa Barat, ada kekhasan dalam penentuan jenis tanaman yang ditanam, cara penyimpanan, cara pengolahan pangan, cara memasak sampai jenis-jenis makanan yang harus disajikan pada saat ritual tertentu.  Pada saat ritual atau acara syukuran tertentu, beberapa makanan dan jajanan khas Sunda selalu dihidangkan. Hanya saja, menurut Emak Sepuh (sebutan untuk Emak Uyen, ibu dari Abah Ugi, pemimpin masyarakat adat Ciptagelar) hampir semua makanan yang disajikan saat ritual-ritual khusus atau untuk hajatan adalah dimasak sendiri oleh warga, dan hampir tidak ada makanan atau jajanan yang diperoleh dari membeli. Selain itu, di antara sekian banyak makanan yang akan disajikan, ada beberapa jenis makanan dan jajanan yang harus ada di setiap acara ritual atau pada saat acara syukuran apa pun di Kampung Ciptagelar ini.
                Makanan yang selalu harus ada di setiap ritual atau salametan antara lain adalah kue dodol. Kue dodol di Kampung Ciptagelar ini dianggap sebagai ‘Ratu Kue’ sehingga harus selalu dihadirkan di setiap acara.  Ada pun yang unik dari kue dodol di kampung ini, yaitu kue dodol yang digunakan untuk sesajen, acara hajatan, atau pun untuk ritual-ritual tertentu harus dibuat sendiri dan tidak boleh beli. Selain itu, kue dodol tersebut harus dibuat paling terakhir di antara masakan-masakan yang lain atau sebagai penutup dari sekian banyak jenis masakan yang dibuat. Beras ketan yang digunakan sebagai bahan utama dodol juga diambil dari Leuit yang terpisah dari Leuit padi. Karena terbuat dari bahan-bahan yang alami seperti beras ketan, gula merah, dan kelapa, serta dibuat di atas tungku (menggunakan ‘Rajah Bumi’) sehingga menghasilkan cita rasa yang sangat khas, enak, dan berbeda dengan cita rasa dodol yang dijual luas di pasaran atau masyarakat luar Ciptagelar.
                Selain kue dodol, ‘Congcot’ merupakan makanan yang selalu dihadirkan di setiap ritual atau acara sesajen di Kampung Ciptagelar. ‘Congcot’ hampir menyerupai nasi tumpeng akan tetapi dengan ukuran yang lebih kecil. Congcot disajikan lengkap dengan lauk pauk seperti ayam goreng, sayur urap daun singkong, kering tempe, bali tahu, telur rebus, dan mentimun. Yang membedakan dengan nasi tumpeng biasa adalah ukurannya yang lebih kecil dan keharusan menggunakan ayam bekakak. Ayam negeri/ ayam potong tidak boleh disajikan bersama Congcot, sebab menurut masyarakat Ciptagelar, daging ayam yang dapat digunakan untuk acara sesajen hanyalah ayam bekakak saja.
                Di samping kue dodol dan congcot, makanan yang harus ada di setiap acara ritual atau hajatan adalah buah pisang mas. Tidak ada penjelasan khusus terkait keharusan menyajikan pisang mas di setiap ritual atau acara-acara tertentu, hanya saja hal ini telah menjadi budaya masyarakat Ciptagelar sejak zaman leluhur, mengingat buah pisang mas juga tumbuh baik di kampung tersebut.
                Pada masyarakat adat Kampung Ciptagelar juga terdapat tabu atau larangan.  Bbeberapa makanan yang dianggap tabu berdasarkan adat Kampung Ciptagelar, khususnya untuk para gadis dan ibu yang hamil. Sementara itu, untuk masyarakat secara umum tidak ada makanan yang dianggap tabu selain makanan yang dilarang/diharamkan oleh agama. Sebagai contoh, beberapa jenis makanan yang dianggap tabu untuk gadis di Kampung Ciptagelar antara lain adalah pisang ambon dan nanas. Para gadis di kampung ini dilarang memakan pisang ambon dan hanya wanita yang sudah menikah/memiliki suami saja yang boleh mengonsumsi pisang ambon. Begitu pula buah nanas, para gadis di kampung ini dilarang memakan nanas sebelum ia menikah, dan jika dia hamil juga tidak dianjurkan memakan nanas. Ada pun alasan gadis dilarang memakan buah pisang ambon dan buah nanas di kampung ini tidak dijelaskan secara jelas, dan menurut penuturan Emak Alit (istri Abah Ugi) hal tersebut telah diajarkan sejak zaman karuhun/leluhur dan untuk kebaikan para gadis itu sendiri.
                Sebagaimana para gadis, ibu hamil di Kampung Ciptagelar juga memiliki tabu makanan yang harus dipatuhi agar bayi yang dilahirkan kelak selamat dan sehat. Beberapa makanan yang dianggap tabu untuk ibu hamil di Ciptagelar antara lain ikan asin, kerang (tutut), dan nanas. Ikan asin/ ikan laut dan juga tutut dianggap tabu karena dapat berdampak pada terjadinya perdarahan dan bau bayi yang anyir (amis). Sementara buah nanas dianggap dapat menyebabkan keguguran jika dikonsumsi oleh ibu hamil.
                Selama makanan yang ditabukan untuk anak gadis dan ibu hamil tertentu di suatu masyarakat ada penggantinya dengan makanan lain yang juga memiliki kandungan gizi sejenis, maka tabu atau larangan terhadap pangan tersebut tidak akan berdampak negatif terhadap status gizinya. Asalkan anak gadis dan ibu hamil tersebut bisa memilih jenis makanan penggantinya.  Seperti halnya orang islam yang diharamkan memakan daging babi, maka hal ini tidak akan berdampak buruk bagi gizi kita, karena kita bisa menggantinya dengan daging sapi, kambing, rusa, kerbau, dan lain-lain.
                Itulah sekilas pengenalan antropologi gizi, yang  dibahas tidak terlalu mendalam dan lengkap.  Hal ini semata-mata karena masalah teknis dan keterbatasan pengetahuan penulis.
Salam.



No comments: