Laman

Thursday, December 22, 2016

Compendium of Actions for Nutrition (CAN)


Tahukan anda dengan CAN? CAN adalah compendium of actions for nutrition atau ikhtisar aksi gizi yang dilakukan untuk mengatasi masalah gizi di dunia.  Seperti diketahui masalah gizi merupakan masalah multisektor, olah karena itu tidak ada satu lembaga atau pemerintah yang mampu mengatasi masalah gizi secara sendiri-sendiri.  Masalah gizi hanya bisa diatasi dengan Tata Kelola Gizi Multi-sektoral, yang secara bersama-sama merancang dan melaksanakan pemberantasan masalah gizi.
Nah bagaimana strategi yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah gizi bisa didapatkan di buku “Compendium of Actions for Nutrition (CAN)”.  Silahkan unduh disini

Sunday, December 11, 2016

Cara Evaluasi Mutu Protein Makanan dengan Metode DIAAS

         DIAAS (digestible indispensable amino acid score) atau skor asam amino esensial yang dapat tercerna merupakan metode yang direkomendasikan untuk penilaian mutu protein untuk tujuan-tujuan regulasi.  Misal untuk membuat klaim kandungan protein dalam pangan harus ditentukan dengan metode analisis yang tepat dan mutunya ditentukan dengan metode DIAAS.  Berkenaan dengan klaim kandungan protein dalam produk pangan FAO menetapkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang direkomendasikan untuk tujuan pelabelan menurut harmonisasi dan standarisasi internasional adalah 50 gram.  Untuk mengklaim suatu pangan merupakan “sumber” protein, maka pangan tersebut harus memenuhi kriteria :
10% dari AKG per 100 g (makanan padat);
5% dari AKG per 100 ml (makanan cair);
atau 5% dari AKG per 100 kKal;
atau 10% dari AKG per sajian.
Untuk mengklaim suatu pangan merupakan “tinggi” protein, maka pangan tersebut harus mengandung dua kali lipat dari nilai kriteria “sumber” tersebut.
         Apabila pangan sudah memenuhi kriteria kuantitas protein tersebut, maka selanjutnya ukuran mutu protein harus diterapkan.  Untuk klaim gizi sebagai “sumber” atau “tinggi” berdasarkan mutu DIAAS, maka ditetapkan titik batas DIAAS, yaitu 100 atau lebih untuk klaim “baik sekali”, 75-99 untuk klaim “sumber” atau “baik”., dan tidak ada klaim kalau mutunya kurang dari 75.  Tabel 1 berikut merupakan contoh penggunaan DIAAS untuk penilaian mutu protein dalam konteks membuat klaim.
Tabel.  Contoh penggunaan DIAAS untuk penilaian mutu protein dalam konteks membuat klaim
Jenis pangan
Jumlah
Kandugan protein per 100 g
DIAAS
Penilaian kualitas
Eligibilitas klaim menurut kuantitas
Eligibilitas klaim menurut kuantitas & kualitas
Terigu
100 g
11
40
rendah
Ya, tinggi
Tidak, tidak
Kacang polong
100 g
21
64
rendah
Ya, tinggi
Tidak, tidak
Tepung susu (whole)
100 g
28
122
tinggi
Ya, tinggi
Ya, tinggi

            Kebutuhan protein tubuh sangat dipengaruhi oleh mutu protein makanan. Karena itu mutu protein makanan dari individu/masyarakat dan produk pangan perlu ditentukan.  Banyak cara untuk menilai mutu protein.  Salah satunya dengan menghitung skor asam aminonya. FAO (2013) telah menetapkan referensi pola kebutuhan asam amino, yang merupakan koreksi terhadap referensi terdahulu yaitu referensi FAO/WHO/UNU (2007). Metode yang dianjurkan FAO 2013 untuk mengukur mutu protein adalah DIAAS (digestible indispensable amino acid score; DIAAS) sebagai pengganti PDCAAS (Protein Digestibility Corrected Amino Acid Score; PDCAAS).
            Metode ini dikembangkan karena daya cerna protein saja tidak selalu merefleksikan daya cerna asam amino esensial makanan seseorang, sehingga pengugunaan skor berdasarkan daya cerna asam amino esensial makanan seseorang.
DIAAS diperoleh dengan menggunakan rumus berikut :
DIAAS % = 100 x [(mg asam amino esensial makanan tercerna dalam 1 g protein makanan) / (mg asam amino esensial makanan yang sama dalam 1 gram protein referensi)].
                Metode ini memang agak sulit diterapkan karena ketersediaan data biavailabilitas dan daya cerna asam amino suatu pangan masih sangat terbatas. Ada beberapa kegunaan dengan menghitung DIAAS, yaitu a) untuk mengukur mutu protein makanan campuran (diet) individu/masyarakat, b) untuk mendokumentasi mutu asam amino pangan tunggal, yang dapat digunakan dalam meramu diet agar mutu proteinnya meningkat (prinsip komplementasi atau saling melengkapi), c) untuk keperluan regulatori yang bertujuan mengklasifikasi dan memonitor kecukupan protein dari suatu pangan atau produk pangan yang dijual pada konsumen. Untuk tujuan regulatori, dianjurkan  2 pola, yaitu menggunakan referensi bayi (komposisi asam amino ASI) pada Tabel 2 untuk makanan formula bayi; dan menggunakan referensi anak usia 6 bulan-3 tahun untuk semua pangan/produk pangan lainnya.
                Dalam menghitung DIAAS, rasio-nya harus dihitung untuk masing-masing asam amino esensial dan nilai rasio terendah yang dimaksud dengan DIAAS. DIAAS dapat memiliki nilai dibawah atau dalam beberapa keadaan bisa diatas 100%. Nilai-nilai diatas 100% tidak perlu dipotong, kecuali apabila menghitung DIAAS bagi asupan asam amino atau protein diet campuran atau pangan bersumber tunggal (seperti formula bayi atau ASI).
                Pola skor asam amino yang direkomendasikan (dalam hal ini pola asam amino dari protein referensi) yang digunakan untuk menghitung mutu protein (DIAAS) disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2.  Kebutuhan asam amino bagi bayi, anak, remaja, dan dewasa untuk orang Indonesia
Kelompok umur
His*)
Ile
Leu
Lys
SAA
AAA
Thr
Trp
Val

Pola skor asam amino (mg/g kebutuhan protein)
Bayi (0 – 6 bulan)
21
55
96
69
33
94
44
17
55
Anak (6 bulan–3 tahun)
20
32
66
57
27
52
31
8,5
43
Anak diatas 3 tahun, remaja dan dewasa
16
30
61
48
23
41
25
6,6
40
Sumber : FAO (2013)
*) Singkatan asam amino (His, histidin; Ile, isoleusin; Leu, leusin; Lys, lisin; SAA, asam amino sulfur, yaitu methionin dan sistin; AAA= asam amino aromatik, yaitu Phe, fenilalanin dan Tyr, tirosin; Thr, treonin; Trp, triptofan; Val, valin).

Contoh perhitungan DIAAS makanan tunggal

Contoh perhitungan DIAAS makanan campuran

Daftar Pustaka
1.       FAO/WHO/UNU.  (2007). Protein and Amino Acids Requirements in Human Nutrition.  WHO Technical Report Series 935.  Geneva : WHO.
2.       FAO.  (2013). Dietary Quality Protein Evaluation in Human Nutrition.  Rome : FAO.
3.       FAO (2014).  Research approaches and methods for evaluating the protein quality of human foods.  Report of a FAO Expert Working Group, 2 – 5 March 2014, Bangalore, India.  Rome : FAO.


Sunday, December 4, 2016

Kebutuhan Karbohidrat untuk Atlet

Karbohidrat merupakan sumber energi utama ketika melakukan aktivitas intensitas tinggi, terutama yang disuplai melalui sistem energi glikolisis anaerobik maupun aerobik.  Karbohidrat untuk aktivitas fisik  ini didapat dari sumber penyimpanan karbohidrat di tubuh, seperti glikogen otot, glikogen hati, dan glukosa darah. Simpanan karbohidrat di dalam tubuh sangat terbatas, karena itu aktivitas fisik yang dilakukan dapat dikatakan dibatasi oleh simpanan karbohidrat yang ada dalam tubuh. Inilah alasan mengapa kita harus memenuhi karbohidrat kita setiap hari, bahkan setiap saat, agar simpanan dalam tubuh tidak terkuras habis.  Bagi atlet, kalau simpanan karbohidratnya sudah terkuras maka atlet akan dibayang-bayangi oleh kelelahan, yang pada akhirnya akan berdampak pada performanya.
Altet yang melakukan latihan dan kompetisi harus membuat keputusan diet yang tepat dalam mengonsumsi karbohidrat, yang meliputi : jumlah optimal, waktu dan jenisnya.  Atlet juga harus mempertimbangkan pengaruh asupan karbohidrat dalam latihan jangka pendek dan performa saat berkompetisi, namun atlet juga harus memikirkan dampak potensial dari keputusan diet mereka pada kesehatan dan kebugaran jangka panjang.

Jenis-jenis Karbohidrat
Sebelum membahas kebutuhan karbohidrat bagi atlet untuk meningkatkan performa saat berolahraga, penting untuk memahami jenis-jenis karbohidrat.  Karbohidrat dapat dicirikan dari struktur dan jumlah molekul gula, yang  dikenal sebagai monosakarida, disakarida, atau polisakarida. Monosakarida, seperti glukosa dan fruktosa terdiri dari satu molekul gula dikenal sebagai gula sederhana. Disakarida, seperti sukrosa, terdiri dari dua molekul gula, dan dikategorikan pula sebagai gula sederhana. Karbohidrat sederhana dan sumber pangannya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis-jenis karbohidrat sederhana

Karbohidrat
Keterangan
Monosakarida

Glukosa
Disebut juga dekstrosa; ditemukan pada beberapa tanaman pangan, buah dan madu.
Fruktosa
Disebut juga gula buah; ditemukan pada beberapa tanaman pangan, buah dan madu.
Galaktosa
Produk dari pemecahan laktosa
Disakarida

Sukrosa
Disebut juga gula putih, terdiri dari glukosa dan fruktosa; digunakan sebagai pemanis.
Laktosa
Tersusun dari galaktosa dan glukosa; ditemukan pada susu dan beberapa produk turunannya.
Maltosa
Tersusun dari dua molekul glukosa; produk dari pemecahan pati.

Polisakarida, tersusun dari banyak unit glukosa yang terikat secara bersama, disebut karbohidrat kompleks. Pati, dekstrin, dan serat mengandung karbohidrat kompleks. Maltodekstrin adalah polisakarida  (polimer glukosa) namun tidak tersusun dari pati atau serat dan dapat dimetabolisme seperti gula sederhana. Karbohidrat kompleks dan cirinya dapat dilihat pada Tabel 2.  Karbohidrat kompleks banyak terdapat dalam padi-padian (padi/nasi, gandum, sorgum, dll), jagung, singkong, ubi jalar, sagu, dll.
Tabel 2. Jenis-jenis karbohidrat kompleks
Polisakarida
Keterangan
Amilopektin
Pati; ditemukan pada beberapa tanaman pangan dan padi-padian.
Amilosa
Pati; ditemukan pada beberapa tanaman pangan dan padi-padian.
Karagenan
Serat larut; digunakan sebagai pengental dan penstabil makanan.
Selulosa
Serat tak larut; ditemukan pada lapisan kulit tanaman berbiji, padi-padian, dan kulit buah atau sayur.
Sirup jagung
Hidrolisa pati; ditemukan pada proses makanan.
Dekstrin
Hidrolisa pati; ditemukan pada proses makanan.
Glikogen
Pati pada hewan; ditemukan pada daging dan hati.
Hemiselulosa
Serat tak larut; ditemukan pada lapisan kulit tanaman berbiji, biji-bijian, kulit buah atau sayur.
Inulin
Serat larut.
Gula invert
Sukrosa terhidrolisa; ditemukan pada proses pangan.
Lignin
Serat tak larut; ditemukan pada dinding sel tanaman.
Pektin
Serat larut; ditemukan pada buah apel.

Karbohidrat pada umumnya mudah dicerna dan diserap, apalagi kalau jenis karbohidrat sederhana.  Tidak semua jenis karbohidrat yang dikonsumsi dapat dicerna dan diserap. Karbohidrat yang tidak diserap disebabkan oleh beberapa hal yaitu bentuknya dalam makanan, jenis pati, atau terdapat banyak kandungan serat dalam pangan tersebut. Karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan diserap maka akan masuk ke dalam usus besar, yang akan dicerna oleh bakteri atau dieksresikan dalam bentuk feses. Kandungan serat dalam makanan, yang tidak dapat diserap, memainkan peranan penting bagi tubuh dalam mempertahankan transit dalam lambung, dapat mempengaruhi respon glikemik dan penting dalam menjaga kesehatan jangka panjang.

Atlet harus mengkonsumsi karbohidrat yang cukup untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan energinya pada program latihan olahraga, dan untuk mengoptimalkan simpanan glikogen otot antar kegiatan olahraga.  Atlet sebaiknya mengkonsumsi karbohidrat kompleks, kecuali pada saat bertanding maka harus diberikan jenis karbohidrat yang mudah dicerna seperti jenis karbohidrat sederhana.
Rekomendasi tentang asupan karbohidrat bagi atlet bisa dilihat pada Tabel 3.  Sebagai penjelasan Tabel 3, berikut diberikan contoh kebutuhan atlet untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan energinya pada program latihan olahraga sehari-hari, dan untuk mengoptimalkan simpanan glikogen otot antar kegiatan olahraga, yaitu :

  1.  Segera setelah olahraga dan sampai 4 jam sesudahnya, atlet harus mengkonsumsi 1,0-1,2 gram karbohidrat per kilogram berat badan perjam (contoh : atlet dengan berat badan 70 kg, yang ingin mengkonsumsi 1,2 gram karbohidrat per kg berat badan per jam selama 4 jam setelah olahraga, akan mengkonsumsi 1344 kilokalori dari karbohidrat selama 4 jam setelah olahraga = 70 kg x 1,2 g x 4 jam x 4 kkal/g – 1344 kkal).
  2. Untuk pemulihan harian dari latihan intensitas rendah  dengan durasi sedang, atlet harus mengkonsumsi 5-7 gram karbohidrat per kilogram berat badan perhari ( Contoh : atlet dengan berat badan 70 kg, yang  ingin menkonsumsi 6 g karbohidrat per kg bera badan, akan mengkonsumsi 1680 kkal dari karbohidrat, yaitu 70 kg x 6 g x 4 kkal/g – 1680 kkal).
  3. Untuk pemulihan harian dari latihan enduran berat, atlet harus mengkonsumsi 6-10 g karbohidrat per kg berat badan perhari (Contoh : atlet dengan berat badan 70 kg, yang ingin mengkonsumsi 10 g karbohidrat per kg berat badan, akan mengkonsumsi 2800 kkal dari karbohidrat, yaitu 70 kg x 10 g x 4 kkal/g = 2800 kkal).
  4. Untuk pemulihan harian dari latihan olahraga sangat intensif yang berlangsung 4 – 6 (atau lebih) jam per hari, atlet harus mengkonsumsi 8-12 g karbohidrat per kg berat badan perhari (Contoh : atlet dengan berat badan 70 kg, yang ingin mengkonsumsi 12 g karbohidrat per kg berat badan, akan mengkonsumsi 3360 kkal dari karbohidrat, yaitu 70 kg x 12 g x 4 kkal/g = 3360 kkal).

Tabel 3.  Kebutuhan karbohidrat bagi atlet
Aktivitas atau waktu
Asupan yang dianjurkan
KEBUTUHAN HARIAN UNTUK TENAGA DAN PEMULIHAN

Ringan (intensitas rendah atau aktivitas didasarkan pada keterampilan)
3-5 g per kg berat badan perhari
Sedang (program latihan sedang, sekitar 1 jam perhari)
5-7 g per kg berat badan per hari
Tinggi (program enduran—latihan intensitas sedang sampai tinggi 1-3 jam perhari)
6-10 g per kg berat badan per hari
Sangat tinggi (latihan ekstrim—latihan intensitas sedang sampai tinggi >4-5 jam perhari
8-12 g per kg berat badan per hari
PEWAKTUAN ASUPAN KHUSUS UNTUK MENYOKONG SESI LATIHAN/BERTANDING

Pengisian tenaga sebelum latihan (olahraga)
1-4 g per kg berat badan yang dikonsumsi 1-4 jam sebelum latihan
Pengisian kembali saat  latihan/bertanding :
45-75 menit (durasi)
Jumlah kecil sepanjang latihan  (membilas mulut dengan minuman berenergi)
1-2,5 jam
30-60 g per jam
2,5-3 jam
(ketika mensimulasi praktek pertandingan optimum dan/atau menyokong kebutuhan harian yang tinggi
Sampai 90 g per jam
Pemulihan segera (0-4 jam) setelah latihan
1.0-1.2 g per kg berat badan per jam (dikonsumsi dengan interval yang sering)
Sumber : Maughan RJ (Ed) (2014)

Daftar Pustak

  1. Fink H and Mikesky AE. 2015.  Practical Applications in Sports Nutrition. Fourth Edition.  Burlington, MA : Jones & Bartlett Learning.  
  2. Rawson  ES and Volpe  SL (Eds) .  2016.  Nutrition for Elite Athletes.  Boca Raton, FL : CRC Press.
  3. Maughan RJ (Editor).  2014. Sport Nutrition (Encyclopaedia of sports medicine ; volume XIX). West Sussex : John Wiley & Sons.