Laman

Friday, November 25, 2016

Buku Evaluasi Dampak dalam Praktek (Impact Evaluation in Practice Handbook, Second Edition)

Buku (Handbook) Impact Evaluation in Practice edisi kedua yang baru diterbitkan oleh Bank Dunia dan Inter-American Development Bank  ini ditulis  dengan sangat komprehensif, dan menjadi landasan penting untuk mengevaluasi dampak suatu program bagi pembuat kebijakan dan praktisi pembangunan.  Buku ini merupakan sumberdaya yang sangat bernilai bagi masyarakat pembangunan internasional, universitas, pembuat kebijakan untuk membangun eviden yang lebih baik  tentang apa yang bekerja dalam suatu pembangunan. Edisi pertamanya ditulis tahun 2011 dan sudah sangat luas digunakan oleh masyarakat akademik dan pembangunan.  Pada buku ini juga diberikan contoh-contoh nyata sebagai panduan praktis untuk merancang dan mengimplementasikan evaluasi dampak.  Tentu saja pembaca buku ini akan mendapatkan tambahan pengertian tentang evaluasi dampak dan cara terbaik untuk merancang kebijakan dan program berbasis eviden.


Versi update ini menyajikan teknik terbaru untuk mengevaluasi program,  dan memasukkan state-of-the-art  sara implementasi, serta berbagai studi kasus yang menggambarkan tantangan pembangunan masa kini.  Pada buku ini juga disajikan materi baru tentang etika penelitian dan kemitraan untuk melakukan evaluasi dampak.

Buku ini terbagi atas 4 bagian.  Bagian pertama mendiskusikan Apa dan mengapa melakukan evaluasi; bagian kedua menyajikan metode evaluasi dampak; bagian ketiga membahas tentang bagaimana mengelola evaluasi dampak; dan bagian keempat mereview sampling dan pengumpulan data untuk evaluasi dampak.  Studi kasus mengilustrasikan aplikasi yang berbeda dari evaluasi dampak.
Bagi yang berminat unduh disini

Tuesday, November 15, 2016

Rekomendasi WHO terbaru tentang Perawatan Antenatal (ANC) Ibu Hamil ( WHO recommendations on antenatal care for a positive pregnancy experience)

Minggu yang lalu Badan Kesehatan Dunia (WHO) meluncurkan buku yang berjudul WHO recommendations on antenatal care for a positive pregnancy experience.  Buku setebal 170 halaman ini disiapkan berdasarkan eviden terkini pada setiap jenis rekomendasinya.

Seperti kita ketahui  angka kesakitan dan kematian yang sebenarnya dapat dicegah yang berkaitan dengan kehamilan masih tinggi, terutama di negara berkembang.  Untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian yang terkait dengan kehamilan, maka WHO memandang perlu dibuat rekomendasi.  Rekomendasi ini dibuat berdasarkan praktek berdasar eviden selama perawatan antenatal (ANC) yang memperbaki outcome dan mengarah pada pengalaman kehamilan positif, serta bagaimana praktek tersebut seharusnya dilakukan.  Pedoman ini dikembangkan menggunakan prosedur operasional baku sesuai dengan proses yang djelaskan dalam buku WHO handbook for guideline development.

Dalam buku ini secara keseluruhan ada 49 rekomendasi.  Yang menarik pada ibu hamil tidak direkomendasikan memberikan suplemen multi-mikronutrien, atau vitamin B6 (piridoksi), vitamin E, vitamin C, vitamin D secara tunggal untuk memperbaiki outcome maternal dan perinatal. Meskipun demikian, suplementasi besi dan asam folat masih direkomendasikan.  Suplementasi Zinc direkomendasikan hanya dalam konteks penelitian saja.  Suplementasi kalsium hanya direkomendasikan pada penduduk yang asupan kalsium dari makanannya rendah (1.5-2.0 gram kalsium elemental  secara oral).  Suplemen vitamin A hanya diberikan pada ibu hamil di daerah yang kurang vitamin A merupakan masalah kesehatan masyarakat (yaitu prevalensi buta senja lebih besar atau sama dengan 5%, atau prevalensi ibu hamil dengan kadar retinol serum kurang dari 0.7 umol/liter lebih dari 20%)  untuk mencegah buta senja.

Selengkapnya silahkan diunduh disini dan dibaca.


Monday, November 7, 2016

Masa Depan Pangan – Membentuk sistem pangan global untuk memperbaiki gizi dan kesehatan

Setiap orang di planet kita ini harus mendapatkan diet harian yang aman, bergizi, dan dapat diperolehnya.  Meskipun demikian, di planet ini manusia dihadapkan pada tiga beban masalah yang sebenarnya saling berkaitan namun berbeda satu-sama lainnya.  Ketiga masalah tersebut adalah defisiensi energi (kelaparan), defisiensi mikronutrien (kelaparan tersembunyi), dan asupan energi berlebihan dan diet yang tidak sehat (overweight/obesitas).  Banyak faktor yang berkontribusi terhadap permasalahan ini, salah satunya adalah sistem pangan yang memainkan peranan yang sangat penting.  Sistem pangan kita harus dirubah dari yang selama ini merupakan ‘bagian dari masalah’ menjadi ‘bagian yang lebih besar dari pemecahan masalah’.



Paper Bank Dunia ini memfokuskan pada bagaimana sistem pangan dapat menghantarkan perbaikan gizi dan kesehatan untuk kehidupan yang lebih baik dan sehat-sejahtera.  Pada paper ini disajikan satu set intervensi  yang sensitif gizi yang dapat di adopsi, diadaptasi, dan diterapkan oleh negara-negara yang membutuhkan sesuai dengan keadaan lingkungannya masing-masing.  Apa saja spektrum sistem pangan tersebut disajikan didalam paper ini.
Hal yang perlu diperhatikan adalah membentuk sistem pangan yang dapat memperbaiki keadaan gizi dan kesehatan memerlukan kombinasi perbaikan pengetahuan, kebijakan, regulasi, investasi mulai dari produksi sampai konsumsi.  Disamping itu perlu juga diperhatikan bahwa suatu intervensi yang terbukti berhasil yang dicontohkan dalam paper ini bersifat “no one size fits all” (tidak ada satu rencana yang sesuai untuk semua), karena itu setiap negara perlu menyesuaikan kombinasi intervensinya agar sesuai dengan kebutuhan spesifik tiap negara.

Paper Bank Dunia ini sebenarnya terdiri dari tiga paper yang saya cantumkan disini link-nya.  Silakan dibaca dan diunduh bagi yang berminat.

Future of Food - Shaping the Global Food System to Deliver Improved Nutrition and Health

Ending Poverty and Hunger by 2030 : An Agenda for the Global Food System

Future of Food : Shaping a Climate-Smart Global Food System


Tuesday, November 1, 2016

Kehilangan Pangan dan Kelaparan Dunia : sebuah ironi

Hadi Riyadi
           Kehilangan pangan merupakan masalah besar yang berimplikasi terhadap keadaan ekonomi, lingkungan,sosial, serta gizi dan kesehatan.  Dengan alasan ini maka pemerintah dan berbagai organisasi harus mengembangkan program dan strategi untuk mengurangi kehilangan pangan pada setiap rantai pangan.

            Saat ini diduga sekitar sepertiga (35%) dari pangan dunia yang dihasilkan untuk konsumsi manusia hilang.  Angka tersebut setara dengan 1.3 milyar ton per tahun. Sungguh sangat memprihatinkan, apalagi disaat yang bersamaan menurut Bank Dunia (2016) setiap hari sekitar 795 juta penduduk mengalami kelaparan, dan lebih dari 95 persennya tinggal di negara berkembang.  Satu dari setiap empat orang Afrika Sub-Sahara mengalami kelaparan, dan satu dari setiap 6 orang Asia Selatan mjuga mengalami kelaparan.  Tidak hanya itu, menurut Bank Dunia (2016), lebih dari 2 milyar penduduk tidak memperoleh kebutuhan vitamin dan mineral yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan yang sehat.  Defisiensi energi dan zat gizi mikro merupakan penyumbang terhadap 165 juta anak yang mengalami stunting dan tidak dapat tumbuh untuk mencapai potensinya.  Masalah lain adalah sekitar 2 milyar penduduk lainnya bergelut dengan masalah overweight dan obes. Banyak masalah gizi ini terjadi dinegara berkembang.  Yang sangat ironis sebenarnya adalah kehilangan pangan yang terjadi saat ini sebenarnya sangat cukup untuk mengurangi (bahkan mengeliminasi)  semua masalah kelaparan di dunia yang terjadi pada saat yang bersamaan.
            Kehilangan pangan, menurut Badan Pangan dan Pertanian (FAO), merupakan penurunan dalam bobot (bahan kering) atau nilai gizi (kualitas) pangan yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia.  Karena pangan yang hilang ini tidak dapat lagi digunakan, maka kehilangan pangan merupakan karakteristik atau komponen pangan yang tidak tersedia untuk memberi makan orang.
            Kehilangan pangan terjadi pada setiap fase, mulai dari fase penanaman dan pemanenan, pasca panen, pengolahan, pengecer/penjualan, dan konsumsi.  Pada negara-negara berkembang kehilangan pangan umumnya terjadi pada fase tanam dan panen, pascapanen dan pengolahan; sedangkan di negara maju kehilangan terjadi pada fase konsumsi yang banyak terjadi di rumah tangga dan restoran.  Untuk mengatasi atau mengurangi kehilangan pangan pada rantai pangan fase awal diperlukan upaya perbaikan teknologi pertanian (mulai dari tanam, panen dan pasca panen, termasuk sistem penyipanan pangan).  Pada kehilangan pangan yang terjadi pada fase konsumsi yang banyak terjadi di negara maju atau pada kelompok masyarakat berpenghasilan menengah keatas, maka diperlukan upaya perubahan perilaku pembelian pangan, pengolahan, dan kebiasaan pangan yang lebih baik, dengan menghilangkan kebiasaan pemborosan pangan.
            Pada tingkat konsumen, setiap orang dapat mengurangi kehilangan pangan.  Kebiasaan membeli pangan dalam jumlah banyak (apalagi pangan yang mudah busuk atau perishable) sebaiknya dikurangi, karena akan meningkatkan kehilangan pangan akibat dari rusak/busuk atau tidak terpakai.  Atau belilah jenis-jenis pangan yang benar-benar dibutuhkan saja meskipun supermarket menawarkan obral terutama pada makanan yang mendekati kadaluarsa. Begitu pula dalam hal perilaku makan, misalnya mengambil makanan terlalu banyak atau memesan makanan di restoran terlalu banyak melebihi kemampuan makannya, yang pada akhirnya tidak habis dimakan akan membuat makanan menjadi terbuang.  Teknik memasak di rumah tangga dan restoran juga dapat mempengaruhi kehilangan pangan.  Cara makan juga mempengaruhi kehilangan pangan, misalnya kebiasaan mengupas kulit apel,akan menyebabkan kehilangan pangan.  Kadang-kadang konsumen juga tidak tahu kalau bentuk pada buah tertentu yang berubah, atau ada bintik, langsung dibuang padahal rasa dan kandungan gizinya sebenarnya tidak berubah (masih baik).  Walaupun demikian ada juga hal-hal yang menyebabkan kehilangan pangan tidak terhindarkan, seperti membuang kulit telur, kulit pisang, tongkol jagung.  Ketidakmengertian konsumen tentang arti “best before”, “use by”, “sell by”, “display until” pada kemasan makanan sehingga memperlakukan semuanya secara sama  juga menyumbang terhadap kehilangan pangan yang tidak seharusnya terjadi.  Pangan yang terbuang di tingkat konsumen di negara maju bisa mencapai 75-115 kg per kapita per tahun.  Seandainya kehilangan pangan di tingkat konsumen di Indonesia hanya separuh dari perkiraan terendah 75 kg per kapita per tahun, dan perkiraan jumlah penduduk kita 200 juta jiwa, maka kehilangan pangan di tingkat konsumsi di negara kita paling sedikit 7.5 juta ton per tahun.  Dugaan saya kehilangannya akan lebih besar dari itu.  Kalau setiap rumah tangga dapat mengurangi kehilangan pangan seperti itu maka berapa banyak pangan yang dapat dihemat, yang pada akhirnya akan menyumbang pada peningkatan jumlah pangan yang tersedia bagi penduduk.  Semua ini akan berdampak terhadap penurunan masalah kelaparan penduduk.

            Mulai sekarang jadilah orang pertama yang mengubah kebiasaan konsumsi kearah perilaku yang dapat mengurangi kehilangan pangan.