'Mencetak' Anak Cerdas Di Rumah (diambil dari intisari-online.com; yang mengutip pendapat saya)
author : Agus Surono
Monday, 06 August 2012 - 02:46 pm
Monday, 06 August 2012 - 02:46 pm
Intisari-Online.com - Banyak penelitian tentang gizi dan psikologi
membuktikan, kecerdasan anak erat kaitannya dengan riwayat pertumbuhan fisik
dan perkembangan psikomotorik mereka. Anak yang tumbuh-kembang dengan sehat,
kecerdasannya dijamin akan lebih baik.
Masalahnya, dapatkah
tumbuh-kembang anak direkayasa, apalagi kalau itu menyangkut kecerdasannya?
Kalaupun bisa, sampai batas mana dapat dikendalikan? Lantas, seperti apa bentuk
rekayasa itu?
Fondasi kecerdasan
anak ternyata bisa direkayasa melalui terapi gizi dan stimulasi psikologi.
Uniknya, itu semua bisa dilakukan sendiri di rumah! Berikut paparan para pakar
dari Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga (GMSK) IPB Bogor serta
Lembaga Psikologi Terapan (LPT) UI Jakarta.
Rekayasa
asupan gizi
"Kecerdasan anak
bisa direkayasa!" tandas Ir. Hadi Riyadi, M.S., ahli gizi dari GMSK IPB.
Cuma, "Pengertian 'rekayasa' di sini bukanlah untuk menghasilkan manusia
super. Tapi, untuk menjamin agar setiap anak lahir sehat, baik fisik maupun
mental. Hingga mereka berkesempatan mencapai potensi optimalnya."
Setidaknya ada dua hal
yang sangat menentukan tumbuh-kembang anak, yaitu faktor keturunan (hereditas)
dan lingkungan. Hanya saja, faktor keturunan sulit dikendalikan. Kalaupun bisa,
misalnya lewat teknologi genetika, penerapannya pada manusia masih dihadang
banyak tantangan, baik etika, moral, maupun religi. Sebaliknya, sekalipun
seorang anak lahir dari pasangan yang faktor hereditasnya baik, kalau
lingkungannya kurang mendukung, tumbuh-kembangnya tetap tidak maksimal.
Karenanya, rekayasa
tumbuh-kembang anak paling aman dengan mengendalikan faktor lingkungan. Antara
lain mengelola asupan gizinya.
Dampak rekayasa gizi
terhadap kecerdasan anak pernah diteliti di Guatemala, Amerika Latin, selama 20
tahun. Melibatkan banyak ahli gizi, dan psikolog.
Setiap wanita hamil
dan bayi kurang gizi yang diteliti diberi makanan yang kadar kalori dan
proteinnya berbeda-beda selama 3 tahun. Mereka dipilah dalam kelompok: yang
mendapatkan paket makanan (suplemen) berkalori dan berprotein rendah, sedang,
dan tinggi. Sementara zat gizi lain, yakni vitamin dan mineral, diberikan dalam
jumlah sama.
Setelah berusia 3, 15,
dan 24 bulan, anak-anak - termasuk bayi yang kemudian dilahirkan para ibu hamil
- diteliti perkembangan kecerdasan dan psikologisnya.
Hasilnya, "Bayi
usia 3 bulan yang mendapatkan suplemen kalori-protein lebih tinggi,
perkembangan motoriknya lebih baik. Setelah mereka berusia 15 dan 24 bulan,
perkembangan motorik maupun mentalnya sama-sama semakin membaik sejalan dengan
tingginya suplemen kalori-protein.
Penelitian ini
kemudian dilanjutkan sampai mereka berusia 8 tahun. Pemantauan terhadap anak
berusia 3, 4, dan 5 tahun hasilnya sepola dengan ketika mereka berusia 24
bulan. Meningkatnya jumlah suplemen kalori-protein meningkatkan pula perkembangan
psikologis mereka, termasuk IQ. Begitu pun ketika mereka berusia 6 dan 8 tahun.
Bisa
dikejar sampai usia 5 tahun
Hadi mengingatkan,
perkembangan fisiologis manusia terdiri atas beberapa tahapan, yakni tahapan
janin, bayi, kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Namun ia menekankan, "Secara
fisiologis, masa janin dan bayi merupakan tahapan tumbuh-kembang paling rawan.
Saat itulah sel tubuh sedang tumbuh sangat pesat, termasuk sel-sel pembentuk
jaringan otak."
"Bayangkan, berat
bayi sehat usia 4,5 bulan kira-kira sudah 2 kali beratnya waktu lahir,"
tambah Ir. Faisal Anwar, M.S., juga ahli gizi dari GMSK IPB. Sejak usia 3 bulan
beratnya bertambah 750 - 1.000 g/bulan. Usia 1 tahun beratnya mencapai 3 kali
berat lahir, usia 2 tahun 4 kalinya, dan menginjak 5 tahun sudah 5 kali berat
lahir. Selama masa balita (1-5 tahun) laju pertumbuhannya rata-rata 200 - 250
g/bulan.
Semua sel otak, yang
disebut neuron, sudah terbentuk saat bayi masih dalam kandungan. Jumlah dan
ukurannya sangat ditentukan oleh konsumsi gizi sang ibu sewaktu hamil. Sampai
anak berusia 2 tahun, neuron berkembang pesat, untuk selanjutnya saling
bertautan. Begitu pun dengan perkembangan kecerdasan anak.
Selama masa kritis
pertumbuhan otak ini, kebutuhan zat gizi per unit berat badan paling tinggi.
Dalam tempo terbatas ini (sejak ibu dinyatakan hamil sampai anak berusia 2
tahun) suatu rangsangan tertentu akan memberikan dampak sangat nyata.
Makanya, Hadi
menegaskan, "Rekayasa gizi harus segera dimulai sejak janin." Begitu
ketahuan hamil, si ibu mesti mengatur makan-minumnya agar memenuhi syarat gizi.
Tenor, lebih baik lagi kalau sebelum hamil ibu sudah mempersiapkan diri.
Kalau selama hamil
konsumsi gizi ibu kurang tercukupi, asal segera diperbaiki sepanjang masa
kritis pertumbuhan otak, dampaknya akan tetap sama baiknya terhadap kecerdasan
anak. Tapi, bagaimana kalau anak sudah mendekati akhir usia balita atau lewat
balita?
Soal ini pernah
diteliti di Cali, Kolombia, pada anak-anak usia prasekolah (3,5 tahun)
penderita kurang gizi tingkat sedang dan berat. Pada awal suplementasi dan 4
tahun sesudahnya perkembangan kognitif mereka diteliti.
Hasilnya mengagetkan.
Perkembangan kognitif mereka ternyata meningkat pesat, padahal usia mereka
sudah melewati masa kritis pertumbuhan otak saat menjalani terapi gizi.
Sementara selama ini diyakini kekurangsempurnaan perkembangan sel otak akibat
kekurangan gizi selama masa kritis tidak dapat diperbaiki lagi.
Kesimpulan penelitian
ini setidaknya membersitkan harapan. Rekayasa gizi masih lumayan efektif
dilakukan terhadap anak-anak menjelang akhir usia balita.
Bagaimana kalau mereka
sudah memasuki usia sekolah (7 tahun)? "Sepengetahuan saya belum pernah
ada penelitian mengenai rekayasa gizi terhadap anak usia sekolah," ungkap
Hadi. Kalaupun dipaksakan, diperkirakan hampir tak ada hasilnya.
Rekaman
konsumsi gizi
"Selain kalori
dan zat gizi lain mesti mencukupi, protein terutama sangat dibutuhkan selama 3
bulan terakhir kehamilan sampai bayi berusia 12 bulan," urai Faisal.
Lebih jauh Ir. Faisal
Anwar, M.S. menekankan pemberian dan porsi makanan bayi sangat bergantung pada
banyaknya ASI (air susu ibu). Bagi ibu yang tidak dapat menyusui bayinya dengan
jumlah ASI yang cukup, perlu mempertimbangkan penggunaan PASI (pelengkap ASI)
sebagai makanan tambahan untuk melengkapi ASI. Namun yang terbaik, bayi
sepenuhnya diberi ASI sampai ia berusia 2 bulan.
"Tidak bijaksana
memastikan kapan bayi harus diberi makanan tambahan," tandas Faisal. Sebab
bergantung pada jumlah ASI yang dihasilkan ibunya dan keperluan setiap bayi
berbeda.
Sebagai acuan, makanan
padat diberikan bertahap sejak bayi berusia 4 - 5 bulan hingga 6 - 7 bulan.
Setiap bulan seporsi makanan padat menggantikan sekali pemberian ASI atau
sebotol susu formula. Pada usia 7 bulan bayi sudah mendapatkan 3 kali makanan
padat dan 2 kali ASI atau formula lanjutan, ditambah buah atau sari buah. Jika
bayi diberi nasi tim, sejak usia 10 bulan nasi tim tak perlu lagi disaring.
Cukup diberikan lembek.
Bahan-bahan untuk
makanan padat sebaiknya diberikan pada umur yang tepat. Serealia, seperti
tepung beras, bisa diberikan pada usia kurang dari 2 bulan. Beberapa macam
buah-buahan, seperti pisang, jeruk, apel, pir, pepaya, tomat, alpukat, mulai
diberikan saat usia bayi sudah 2 - 3 bulan.
Sayuran, seperti
bayam, wortel, kacang-kacangan, kangkung, tomat, labu kuning, bisa diberikan
sejak bayi berusia 3 - 4 bulan. Paling lambat pada usia 6 bulan. Dicampurkan
pula sumber utama protein, seperti daging sapi, daging ayam, hati, daging ikan,
dan juga tempe. Telur - cukup kuningnya saja - diberikan ketika bayi berusia 6
bulan. Daging ikan mengandung asam lemak omega-3, yang sangat menunjang
optimalisasi kecerdasan anak.
Bagaimana cara
mengetahui anak kita tergolong sehat atau kurang gizi? "Cara termudah
dengan mengamati ukuran tubuhnya secara antropometris," jawab Faisal.
Caranya, angka berat anak dibagi dengan nilai standar berat badan menurut umur,
kemudian dikalikan 100%. Nilai standar dapat diperoleh dengan mencocokkan jenis
kelamin dan umur anak.
Nilai berat badan di
atas 80% berarti ia berstatus gizi baik. Pertanda selama ini makanan dan/atau
minumannya cukup gizi. Kalau 70 - 80%, status gizinya sedang. Artinya, konsumsi
gizinya selama ini cukup memadai, tapi perlu ditingkatkan lagi. Anak yang berat
antropometrisnya cuma 60 - 70% termasuk kurang gizi! Orang tua mesti segera
merencanakan nilai gizi menu hariannya secara lebih serius. Kalau kurang dari
60%, tandanya ia menderita gizi buruk alias kurang makan! (Kumpulan Artikel
Psikologi Anak 1)
Dibaca 957 kali | 1 Komentar
No comments:
Post a Comment