Laman

Tuesday, November 1, 2016

Kehilangan Pangan dan Kelaparan Dunia : sebuah ironi

Hadi Riyadi
           Kehilangan pangan merupakan masalah besar yang berimplikasi terhadap keadaan ekonomi, lingkungan,sosial, serta gizi dan kesehatan.  Dengan alasan ini maka pemerintah dan berbagai organisasi harus mengembangkan program dan strategi untuk mengurangi kehilangan pangan pada setiap rantai pangan.

            Saat ini diduga sekitar sepertiga (35%) dari pangan dunia yang dihasilkan untuk konsumsi manusia hilang.  Angka tersebut setara dengan 1.3 milyar ton per tahun. Sungguh sangat memprihatinkan, apalagi disaat yang bersamaan menurut Bank Dunia (2016) setiap hari sekitar 795 juta penduduk mengalami kelaparan, dan lebih dari 95 persennya tinggal di negara berkembang.  Satu dari setiap empat orang Afrika Sub-Sahara mengalami kelaparan, dan satu dari setiap 6 orang Asia Selatan mjuga mengalami kelaparan.  Tidak hanya itu, menurut Bank Dunia (2016), lebih dari 2 milyar penduduk tidak memperoleh kebutuhan vitamin dan mineral yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan yang sehat.  Defisiensi energi dan zat gizi mikro merupakan penyumbang terhadap 165 juta anak yang mengalami stunting dan tidak dapat tumbuh untuk mencapai potensinya.  Masalah lain adalah sekitar 2 milyar penduduk lainnya bergelut dengan masalah overweight dan obes. Banyak masalah gizi ini terjadi dinegara berkembang.  Yang sangat ironis sebenarnya adalah kehilangan pangan yang terjadi saat ini sebenarnya sangat cukup untuk mengurangi (bahkan mengeliminasi)  semua masalah kelaparan di dunia yang terjadi pada saat yang bersamaan.
            Kehilangan pangan, menurut Badan Pangan dan Pertanian (FAO), merupakan penurunan dalam bobot (bahan kering) atau nilai gizi (kualitas) pangan yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia.  Karena pangan yang hilang ini tidak dapat lagi digunakan, maka kehilangan pangan merupakan karakteristik atau komponen pangan yang tidak tersedia untuk memberi makan orang.
            Kehilangan pangan terjadi pada setiap fase, mulai dari fase penanaman dan pemanenan, pasca panen, pengolahan, pengecer/penjualan, dan konsumsi.  Pada negara-negara berkembang kehilangan pangan umumnya terjadi pada fase tanam dan panen, pascapanen dan pengolahan; sedangkan di negara maju kehilangan terjadi pada fase konsumsi yang banyak terjadi di rumah tangga dan restoran.  Untuk mengatasi atau mengurangi kehilangan pangan pada rantai pangan fase awal diperlukan upaya perbaikan teknologi pertanian (mulai dari tanam, panen dan pasca panen, termasuk sistem penyipanan pangan).  Pada kehilangan pangan yang terjadi pada fase konsumsi yang banyak terjadi di negara maju atau pada kelompok masyarakat berpenghasilan menengah keatas, maka diperlukan upaya perubahan perilaku pembelian pangan, pengolahan, dan kebiasaan pangan yang lebih baik, dengan menghilangkan kebiasaan pemborosan pangan.
            Pada tingkat konsumen, setiap orang dapat mengurangi kehilangan pangan.  Kebiasaan membeli pangan dalam jumlah banyak (apalagi pangan yang mudah busuk atau perishable) sebaiknya dikurangi, karena akan meningkatkan kehilangan pangan akibat dari rusak/busuk atau tidak terpakai.  Atau belilah jenis-jenis pangan yang benar-benar dibutuhkan saja meskipun supermarket menawarkan obral terutama pada makanan yang mendekati kadaluarsa. Begitu pula dalam hal perilaku makan, misalnya mengambil makanan terlalu banyak atau memesan makanan di restoran terlalu banyak melebihi kemampuan makannya, yang pada akhirnya tidak habis dimakan akan membuat makanan menjadi terbuang.  Teknik memasak di rumah tangga dan restoran juga dapat mempengaruhi kehilangan pangan.  Cara makan juga mempengaruhi kehilangan pangan, misalnya kebiasaan mengupas kulit apel,akan menyebabkan kehilangan pangan.  Kadang-kadang konsumen juga tidak tahu kalau bentuk pada buah tertentu yang berubah, atau ada bintik, langsung dibuang padahal rasa dan kandungan gizinya sebenarnya tidak berubah (masih baik).  Walaupun demikian ada juga hal-hal yang menyebabkan kehilangan pangan tidak terhindarkan, seperti membuang kulit telur, kulit pisang, tongkol jagung.  Ketidakmengertian konsumen tentang arti “best before”, “use by”, “sell by”, “display until” pada kemasan makanan sehingga memperlakukan semuanya secara sama  juga menyumbang terhadap kehilangan pangan yang tidak seharusnya terjadi.  Pangan yang terbuang di tingkat konsumen di negara maju bisa mencapai 75-115 kg per kapita per tahun.  Seandainya kehilangan pangan di tingkat konsumen di Indonesia hanya separuh dari perkiraan terendah 75 kg per kapita per tahun, dan perkiraan jumlah penduduk kita 200 juta jiwa, maka kehilangan pangan di tingkat konsumsi di negara kita paling sedikit 7.5 juta ton per tahun.  Dugaan saya kehilangannya akan lebih besar dari itu.  Kalau setiap rumah tangga dapat mengurangi kehilangan pangan seperti itu maka berapa banyak pangan yang dapat dihemat, yang pada akhirnya akan menyumbang pada peningkatan jumlah pangan yang tersedia bagi penduduk.  Semua ini akan berdampak terhadap penurunan masalah kelaparan penduduk.

            Mulai sekarang jadilah orang pertama yang mengubah kebiasaan konsumsi kearah perilaku yang dapat mengurangi kehilangan pangan. 

No comments: