Hadi Riyadi
Kehilangan
pangan merupakan masalah besar yang berimplikasi terhadap keadaan ekonomi,
lingkungan,sosial, serta gizi dan kesehatan.
Dengan alasan ini maka pemerintah dan berbagai organisasi harus
mengembangkan program dan strategi untuk mengurangi kehilangan pangan pada
setiap rantai pangan.
Saat ini diduga sekitar sepertiga
(35%) dari pangan dunia yang dihasilkan untuk konsumsi manusia hilang. Angka tersebut setara dengan 1.3 milyar ton
per tahun. Sungguh sangat memprihatinkan, apalagi disaat yang bersamaan menurut
Bank Dunia (2016) setiap hari sekitar 795 juta penduduk mengalami kelaparan,
dan lebih dari 95 persennya tinggal di negara berkembang. Satu dari setiap empat orang Afrika Sub-Sahara
mengalami kelaparan, dan satu dari setiap 6 orang Asia Selatan mjuga mengalami
kelaparan. Tidak hanya itu, menurut Bank
Dunia (2016), lebih dari 2 milyar penduduk tidak memperoleh kebutuhan vitamin
dan mineral yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan yang sehat. Defisiensi energi dan zat gizi mikro
merupakan penyumbang terhadap 165 juta anak yang mengalami stunting dan tidak
dapat tumbuh untuk mencapai potensinya.
Masalah lain adalah sekitar 2 milyar penduduk lainnya bergelut dengan
masalah overweight dan obes. Banyak masalah gizi ini terjadi dinegara
berkembang. Yang sangat ironis
sebenarnya adalah kehilangan pangan yang terjadi saat ini sebenarnya sangat
cukup untuk mengurangi (bahkan mengeliminasi) semua masalah kelaparan di dunia yang terjadi
pada saat yang bersamaan.
Kehilangan pangan, menurut Badan
Pangan dan Pertanian (FAO), merupakan penurunan dalam bobot (bahan kering) atau
nilai gizi (kualitas) pangan yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia. Karena pangan yang hilang ini tidak dapat
lagi digunakan, maka kehilangan pangan merupakan karakteristik atau komponen
pangan yang tidak tersedia untuk memberi makan orang.
Kehilangan pangan terjadi pada
setiap fase, mulai dari fase penanaman dan pemanenan, pasca panen, pengolahan,
pengecer/penjualan, dan konsumsi. Pada
negara-negara berkembang kehilangan pangan umumnya terjadi pada fase tanam dan
panen, pascapanen dan pengolahan; sedangkan di negara maju kehilangan terjadi
pada fase konsumsi yang banyak terjadi di rumah tangga dan restoran. Untuk mengatasi atau mengurangi kehilangan
pangan pada rantai pangan fase awal diperlukan upaya perbaikan teknologi
pertanian (mulai dari tanam, panen dan pasca panen, termasuk sistem penyipanan
pangan). Pada kehilangan pangan yang
terjadi pada fase konsumsi yang banyak terjadi di negara maju atau pada
kelompok masyarakat berpenghasilan menengah keatas, maka diperlukan upaya
perubahan perilaku pembelian pangan, pengolahan, dan kebiasaan pangan yang
lebih baik, dengan menghilangkan kebiasaan pemborosan pangan.
Pada tingkat konsumen, setiap orang
dapat mengurangi kehilangan pangan.
Kebiasaan membeli pangan dalam jumlah banyak (apalagi pangan yang mudah
busuk atau perishable) sebaiknya dikurangi, karena akan meningkatkan
kehilangan pangan akibat dari rusak/busuk atau tidak terpakai. Atau belilah jenis-jenis pangan yang
benar-benar dibutuhkan saja meskipun supermarket menawarkan obral terutama pada
makanan yang mendekati kadaluarsa. Begitu pula dalam hal perilaku makan,
misalnya mengambil makanan terlalu banyak atau memesan makanan di restoran
terlalu banyak melebihi kemampuan makannya, yang pada akhirnya tidak habis
dimakan akan membuat makanan menjadi terbuang.
Teknik memasak di rumah tangga dan restoran juga dapat mempengaruhi
kehilangan pangan. Cara makan juga
mempengaruhi kehilangan pangan, misalnya kebiasaan mengupas kulit apel,akan
menyebabkan kehilangan pangan. Kadang-kadang
konsumen juga tidak tahu kalau bentuk pada buah tertentu yang berubah, atau ada
bintik, langsung dibuang padahal rasa dan kandungan gizinya sebenarnya tidak
berubah (masih baik). Walaupun demikian
ada juga hal-hal yang menyebabkan kehilangan pangan tidak terhindarkan, seperti
membuang kulit telur, kulit pisang, tongkol jagung. Ketidakmengertian konsumen tentang arti “best
before”, “use by”, “sell by”, “display until” pada kemasan
makanan sehingga memperlakukan semuanya secara sama juga menyumbang terhadap kehilangan pangan
yang tidak seharusnya terjadi. Pangan
yang terbuang di tingkat konsumen di negara maju bisa mencapai 75-115 kg per
kapita per tahun. Seandainya kehilangan
pangan di tingkat konsumen di Indonesia hanya separuh dari perkiraan terendah
75 kg per kapita per tahun, dan perkiraan jumlah penduduk kita 200 juta jiwa,
maka kehilangan pangan di tingkat konsumsi di negara kita paling sedikit 7.5
juta ton per tahun. Dugaan saya kehilangannya
akan lebih besar dari itu. Kalau setiap
rumah tangga dapat mengurangi kehilangan pangan seperti itu maka berapa banyak
pangan yang dapat dihemat, yang pada akhirnya akan menyumbang pada peningkatan
jumlah pangan yang tersedia bagi penduduk.
Semua ini akan berdampak terhadap penurunan masalah kelaparan penduduk.
Mulai sekarang jadilah orang pertama
yang mengubah kebiasaan konsumsi kearah perilaku yang dapat mengurangi
kehilangan pangan.